Intolerasi agama masih menjadi masalah serius di Indonesia
Direktur Pelaksana Wahid Institute, Yenny Wahid, berkata intoleransi agama
masih berada di "tingkat serius" pada tahun 2012 setelah mencapai
"tingkat peringatan merah" pada tahun sebelumnya. "Tidak ada
tanda perbaikan," katanya di sebuah seminar di Jakarta pada akhir bulan
Desember.
Data dikumpulkan di 16 dari 33 provinsi di Indonesia oleh The Wahid Institute
dalam kerjasama dengan Yayasan Tifa, sebuah lembaga swadaya masyarakat lainnya
(LSM).
Laporan itu memberi peringkat kepada Jawa Barat sebagai provinsi dengan
jumlah kasus kekerasan atau intoleransi agama tertinggi pada tahun 2012 dengan
43 kasus, diikuti dengan Aceh dengan 22 kasus. Jawa Tengah dan Timur menduduki
peringkat berikutnya dengan masing-masing 15 kasus.
Laporan ini menemukan bahwa kelompok masyarakat sipil maupun lembaga
pemerintah melanggar kebebasan beragama. Kelompok agama garis keras seperti Front Pembela
Islam (FPI) berada di peringkat teratas dengan 52 tindakan
kekerasan atau intimidasi.
Ancaman kekerasan, serangan, larangan mendirikan rumah beribadah, larangan
melakukan kegiatan beragama, pemakluman akan kebencian, dan pengrusakan adalah
bentuk-bentuk lain intoleransi agama yang disebutkan di dalam laporan. Laporan
ini juga menyatakan kian meningkatnya jumlah peraturandaerah
yang bertujuan mengatur kehidupan sehari-hari berdasarkan ajaran Islam
tertentu.
Gereja-Gereja yang Disegel
Dua kasus yang paling ramai diberitakan mengenai gereja yang hak
pembangunan rumah ibadahnya ditolak oleh pejabat lokal dan daerah adalah Gereja
GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di
Bekasi, keduanya terletak di Jawa Barat. The Wahid Institute menghitung, ada 23
kejadian serupa terjadi pada tahun 2012.
"Alasan-alasan yang digunakan untuk melarang pendirian rumah ibadah
ini berkisar dari masalah izin sampai tuduhan usaha perpindahan agama,"
kata Rumadi Ahmad, koordinator program di institut ini. "Kebanyakan alasan
ini tidak pernah berdasar dan tuduhan ini hanya rumor."
Menteri Agama Suryadharma Ali berkata bahwa kasus-kasus semacam ini timbul
dari masalah perizinan, bukan intoleransi agama. Laporan media cenderung
mengabaikan kejadian di mana pengikut agama lain menghadapi masalah perizinan,
katanya.
Dia menyebut contoh sebuah masjid di Jakarta Pusat yang izin bangunannya
ditolak oleh gubernur saat itu, Fauzi Bowo--meskipun pemrakarsa izin masjid itu
maupun Fauzi sendiri adalah anggota Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim
terbesar di negara itu.
"Masjid ini tidak mematuhi semua ketentuan untuk mendapatkan izin
pembangunan," Suryadharma berkata kepada wartawan pada bulan Desember
2012.
Dia menyerukan para pihak yang bertentangan - termasuk mereka yang
menafsirkan keputusan pengadilan secara berbeda - untuk memecahkan masalah
semacam ini secara hukum.
Masyarakat yang tersegregasi?
Beberapa kejadian tertentu dalam dekade terakhir telah menyebabkan
pertumbuhan intoleransi agama, menurut para pakar yang berbicara dalam seminar
terpisah pada bulan Desember mengenai topik yang diselenggarakan oleh Institut
Budaya dan Kemanusiaan Maarif, sebuah wadah pemikiran Muslim lainnya.
Salah satunya adalah fatwa yang dikeluarkan pada tahun 2005 oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan bahwa ajaran agama apapun yang
dipengaruhi oleh pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme dan menyerang Islam,
harus dilarang, menurut Ahmad Fuad Fanani, kepala penelitian dan perkembangan
di Maarif.
"Fatwa ini justru telah memberi lampu hijau kepada tokoh konservatif
Islam manapun untuk berkampanye bagi penerapan Islam Syariah dan menyebarkan
Salafisme sebagai kebenaran satu-satunya kepada pengikutnya," kata Ahmad
pada acara tanggal 19 Desember ini, merujuk kepada ajaran konservatif Islam
yang memandang kaum moderat sebagai kafir.
Pada tahun 2006, para menteri Dalam Negeri dan Agama mengeluarkan dekrit
bersama yang menyatakan bahwa sebuah rumah ibadah hanya boleh dibangun jika
telah mendapatkan persetujuan dari 90 umat dan 60 warga setempat dari keyakinan
berbeda di tempat yang dimaksudkan.
"Dekrit ini tampaknya berfokus pada pemecahan konflik dan sebenarnya
masuk akal dalam berbagai segi. Tetapi, dekrit ini berdampak luas dalam
rekayasa sosial karena membentuk masyarakat yang tersegregasi," kata
Philips J. Vermonte dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS)
di Jakarta.
Melindungi kerukunan agama
Para pejabat dari Wahid Institute berkata bahwa laporan mereka tidak
menggambarkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan sebagai tidak
bertoleransi.
"Ada upaya-upaya penting yang membina kerukunan beragama, seperti
paduan suara gereja setempat yang membawakan lagu utama lomba Pembacaan
Al-Qur'an Nasional saat lomba tersebut
diadakan di Ambon pada bulan Juni lalu," Yenny berkata.
Change.org Indonesia mencatat ratusan petisi secara online yang menyerukan
berakhirnya intoleransi agama di negeri ini, menurut Usman Hamid, penggiat HAM
dan direktur kampanye di situs web aktivisme sosial ini.
"Hal ini menyatakan bahwa kaum muda Indonesia tidak bersikap masa
bodoh mengenai masalah pluralisme. Ini adalah kekuatan yang baru muncul dari
masyarakat sipil kami," katanya.
Salah satu pemuda tersebut adalah Yosef Pramudito Noki Murargo, 24, seorang
warga Yogyakarta. Ketika berbicara kepada Khabar pada bulan ini, dia menyatakan
rasa malu bahwa kerukunan agama menurun meskipun pembangunan Indonesia
meningkat pesat.
"Agama sebenarnya adalah masalah pribadi kita dengan Tuhan. Hal ini
tidak boleh diganggu oleh orang lain atau bahkan upaya pemerintah. Sangat
penting bagi kita untuk saling menghormati - khususnya karena kita tinggal di
negara demokrasi," kata Yosef.
Dia menyebutkan serangan terhadap Maria Giri Wening Grotto, sebuah situs
agama Katolik dekat Yogakarta, tahun lalu.
"Saya sedih sekali saat menyadari bahwa tidak ada lagi kedamaian dan
toleransi di kota saya akhir-akhir ini," katanya. "Saya harap
pemeirntah bisa melatih kelompok-kelompok konservatif ini agar mereka langsung
menghentikan tindakan kekerasan yang mereka lakukan."
Ahmad berkata bahwa mayoritas umat Muslim di Indonesia cukup moderat tetapi
cenderung tetap diam dan tidak bersuara pada saat terjadi
"pergeseran" ke arah intoleransi di dalam masyarakat.
"Tanggapan terhadap 'pergeseran' ini sebenarnya akan memiliki dampak
penting akan masa depan Islam dalam waktu lima hingga sepuluh tahun di
Indonesia," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar