Warga Negara Indonesia yang wajib membayar pajak, akan tetapi masih banyak warga Negara yang seharusnya membayar, dia tidak melaksanakan kewajiban ini.
I. PENDAHULUAN
Dalam tiap-tiap masyarakat, ada
hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu ada peraturan yang
mengikatnya yaitu hukum. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hak
untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban untuk
menghasilkan atau untuk bekerja.
Demikian juga dengan pajak, hak
untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban
menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk untuk membantu negara dalam
meninggikan kesejahteraan umum. Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki
gedung, mobil dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada negara.
Cort Van der Linden berpendapat bahwa pajak adalah
kewajiban penduduk negara untuk dapat menetap serta berusaha dalam negara itu
dan memperoleh perlindungan. Jadi penduduk negara berhak untuk memperoleh
perlindungan (hukum dan sosial ekonomi). Untuk itu penduduk negara berkewajiban
membayar pajak kepada negara.[1]
II. PERMASALAHAN
A. Pengertian Pajak
Adapun yang dimaksudkan dengan pajak ialah iuran kepada negara yang
terhutang oleh yang wajib membayrnya (wajib pajak) berdasarkan undang-undang
dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa) kembali yang langsung.[2] Sedangkan
menurut Prof. Dr. MJH, Smeeth, pajak yaitu prestasi pemerintah yang terhutang
melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan.[3]
Dari definisi-definisi di atas,
ternyata terdapat istilah “yang dapat dipaksakan” atau istilah wajib yang
mengandung pengertian bahwa kalau wajib pajak itu tidak mau membayar pajak yang
dibebankan kepadanya, maka hutang pajak itu dapat ditagih secara paksa,
misalnya dengan penyitaan.[4]
Manfaat atau guna pajak itu
sendiri ialah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat. Jadi
hasil atau imbalan yang kita peroleh dari pembayaran pajak ini tidak dapat kita
peroleh secara langusng. Karena prestasi yang diberikan oleh pemerintah ini
merupakan sarana dan prasarana untuk kepentingan umum yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat, seperti sekolah-sekolah negeri dan sebagainya.
Dengan memenuhi kewajiban membayar pajak, seorang wajib pajak sebagai warga
negara yang baik telah membantu pemerintah dalam membiayai rumah tangga negara
dan pembangunan negara.
Ciri-ciri pajak :
1. Pajak dipungut berdasar
peraturan perundangan yang berlaku
2. Pajak dipungut oleh
pemerintah, baik pusat maupun daerah
3. Pajak tidak menimbulkan
adanya kontra prestasi dari pemerintah secara langsung
4. Pajak dipungut untuk
membiayai pengeluaran pemerintah
5. Pajak berfungsi sebagai
pengatur anggaran negara.[5]
Sehubungan dengan adanya
ciri-ciri di atas, maka pajak berbeda dengan retribusi. Pada retribusi
pembayaran tersebut memang ditujukan semata-mata oleh si pembayar untuk
memperoleh suatu prestasi tertentu dari pemerintah, misalnya pembayaran karena
pemberian suatu izin oleh pemerintah.[6]
B. Macam-macam Pajak
Pajak dapat dibagi dua golongan,
yaitu :
1.
Pajak langsung ialah pajak yang harus dipikul sendiri oleh si wajib pajak dan
tidak dilimpahkan kepada orang lain.
Misalnya : pajak seorang
pengusaha dibayar dari pendapatan atau labanya sendiri sehingga pada dasarnya
pajak ini tidak menaikkan harga barang yang diproduksi oleh pengusaha itu.
Contoh pajak langsung : pajak
penghasilan, pajak kekayaan, pajak rumah tangga, pajak perseroan, pajak bumi
dan bangunan dan sebagainya.
2.
Pajak tidak langsung ialah pajak yang dibayar oleh si wajib pajak tetapi oleh
wajib pajak ini dibebankan kepada orang lain yang membeli barang-barang yang
dihasilkan olehnya.
Pajak ini akhirnya dapat
menaikkan harga, karena dibebankan kepada pembeli dan karena itu hanya dibayar
kalau terjadi transaksi yang menimbulkan pajak tersebut.
Misalnya : pajak penjualan,
pajak pembangunan, bea materai, bea balik nama dan sebagainya.[7]
C. Pengertian Hukum Pajak
Hukum pajak ialah hukum yang
mengatur hubungan antara pemerintah dengan para wajib pajak, yang antara lain
menerangkan :
1. Siapa-siapa wajib pajak
2. Obyek-obyek apa yang
dikenakan pajak
3. Kewajiban wajib pajak
terhadap pemerintah
4. Timbul dan hapusnya hutang
pajak.
5. Cara penagihan pajak
6. Cara mengajukan keberatan dan
banding pada peradilan pajak.[8]
Dalam penyusunan peraturan
perpajakan ini harus diperhatikan banyak hal, antara lain kemampuan wajib
pajak, keadilan dalam pembebanan pajak, keadaan keuangan negara, keadaan
ekonomi masyarakat dan cara-cara pelaksanaannya.[9]
D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak
Kewajiban pajak itu timbul
setelah memenuhi dua syarat, yaitu :
1. kewajiban pajak subyektif
ialah kewajiban pajak yang melihat orangnya.
Misalnya : semua orang atau
badan hukum yang berdomisili di Indonesia memenuhi kewajiban pajak subyektif.
2. Kewajiban pajak obyektif
ialah kewajiban pajak yang melihat pada hal-hal yang dikenakan pajak.
Misalnya : orang atau badan
hukum yang memenuhi kewajiban pajak kekayaan adalah orang yang punya kekayaan
tertentu, yang memenuhi kewajiban pajak kendaraan ialah orang yang punya
kendaraan bermotor dan sebagainya.[10]
Kewajiban wajib pajak
Dalam menghitung jumlah yang
dipakai untuk dasar pengenaan pajak, diperlukan bantuan dari wajib pajak dengan
cara mengisi dan memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT). Setiap orang yang telah
menerima SPT pajak dari inspeksi pajak mempunyai kewajiban :
a. Mengisi SPT pajak itu menurut
keadaan yang sebenarnya
b. Menandatangani sendiri SPT
itu
c. Mengembalikan SPT pajak
kepada inspeksi pajak dalam jangka waktu yang telah ditentukan.[11]
Wajib pajak harus memenuhi
kewajibannya membayar pajak yang telah ditetapkan, pada waktu yang telah
ditentukan pula. Terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya membayar
pajak, dapat diadakan paksaan yang bersifat langsung, yaitu penyitaan atau
pelelangan barang-barang milik wajib pajak.
Hak-hak Wajib Pajak
Wajib pajak mempunyai hak-hak
sebagai berikut :
1. Mengajukan permintaan untuk
membetulkan, mengurangi atau membebaskan diri dari ketetapan pajak, apabila ada
kesalahan tulis, kesalahan menghitung tarip atau kesalahan dalam menentukan
dasar penetapan pajak.
2. Mengajukan keberatan kepada
kepala inspeksi pajak setempat terhadap ketentuan pajak yang dianggap terlalu
berat.
3. Mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak, apabila keberatan yang diajukan kepada kepala
inspeksi tidak dipenuhi.
4. Meminta mengembalikan pajak
(retribusi), meminta pemindah bukuan setoran pajak ke pajak lainnya, atau
setoran tahun berikutnya.
5. Mengajukan gugatan perdata
atau tuntutan pidana kalau ada petugas pajak yang menimbulkan kerugian atau
membocorkan rahasia perusahaan / pembukuan sehingga menimbulkan kerugian pada
wajib pajak.[12]
III. KESIMPULAN
Pajak ialah iuran wajib kepada
negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat prestasi (balas jasa)
kembali secara langsung, manfaat atau guna pajak yaitu untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum sehubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
kesejahteraan rakyat. Pajak dibagi dalam dua macam yaitu pajak langsung dan
pajak tidak langsung, disamping itu wajib pajak pun mempunyai kewajiban dan
hak-hak sebagai seorang wajib pajak. Hukum pajak ialah hukum yang mengatur
hubungan antara pemerintah dan wajib pajak.
DAFTAR PUSTAKA
H. Bohari, SH., M.S., Pengantar
Hukum Pajak, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002.
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Prof. H. A. M. Effendy, SH.,
Pengantar Tata Hukum Indonesia, Semarang : 1994.
[1] H. Bohari, SH., M.S.,
Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 21-22
[2] Drs. C.S.T Kansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989, hlm. 324
[3]
H. Bohari, SH., M.S., op.cit., hlm. 23-24
[4]
Prof. H. A. M. Effendy, SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Semarang : 1994, hlm.93
[5] Ibid., hlm. 93-94
[6]
Drs. C.S.T Kansil, op.cit., hlm. 324
[7]
Prof. H. A. M. Effendy, SH., op.cit., hlm. 94-95
[8]
H. Bohari, SH., M.S., op.cit., hlm. 29
[9]
Prof. H. A. M. Effendy, SH., op.cit., hlm. 96
[10] Ibid., hlm. 96-97
[11] Ibid., hlm. 97
[12] Ibid., hlm. 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar