Rabu, 21 Januari 2015

Agama dan Masyarakat

Intolerasi agama masih menjadi masalah serius di Indonesia


Direktur Pelaksana Wahid Institute, Yenny Wahid, berkata intoleransi agama masih berada di "tingkat serius" pada tahun 2012 setelah mencapai "tingkat peringatan merah" pada tahun sebelumnya. "Tidak ada tanda perbaikan," katanya di sebuah seminar di Jakarta pada akhir bulan Desember.
Data dikumpulkan di 16 dari 33 provinsi di Indonesia oleh The Wahid Institute dalam kerjasama dengan Yayasan Tifa, sebuah lembaga swadaya masyarakat lainnya (LSM).
Laporan itu memberi peringkat kepada Jawa Barat sebagai provinsi dengan jumlah kasus kekerasan atau intoleransi agama tertinggi pada tahun 2012 dengan 43 kasus, diikuti dengan Aceh dengan 22 kasus. Jawa Tengah dan Timur menduduki peringkat berikutnya dengan masing-masing 15 kasus.
Laporan ini menemukan bahwa kelompok masyarakat sipil maupun lembaga pemerintah melanggar kebebasan beragama. Kelompok agama garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) berada di peringkat teratas dengan 52 tindakan kekerasan atau intimidasi.
Ancaman kekerasan, serangan, larangan mendirikan rumah beribadah, larangan melakukan kegiatan beragama, pemakluman akan kebencian, dan pengrusakan adalah bentuk-bentuk lain intoleransi agama yang disebutkan di dalam laporan. Laporan ini juga menyatakan kian meningkatnya jumlah peraturandaerah yang bertujuan mengatur kehidupan sehari-hari berdasarkan ajaran Islam tertentu.
Gereja-Gereja yang Disegel
Dua kasus yang paling ramai diberitakan mengenai gereja yang hak pembangunan rumah ibadahnya ditolak oleh pejabat lokal dan daerah adalah Gereja GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi, keduanya terletak di Jawa Barat. The Wahid Institute menghitung, ada 23 kejadian serupa terjadi pada tahun 2012.
"Alasan-alasan yang digunakan untuk melarang pendirian rumah ibadah ini berkisar dari masalah izin sampai tuduhan usaha perpindahan agama," kata Rumadi Ahmad, koordinator program di institut ini. "Kebanyakan alasan ini tidak pernah berdasar dan tuduhan ini hanya rumor."
Menteri Agama Suryadharma Ali berkata bahwa kasus-kasus semacam ini timbul dari masalah perizinan, bukan intoleransi agama. Laporan media cenderung mengabaikan kejadian di mana pengikut agama lain menghadapi masalah perizinan, katanya.
Dia menyebut contoh sebuah masjid di Jakarta Pusat yang izin bangunannya ditolak oleh gubernur saat itu, Fauzi Bowo--meskipun pemrakarsa izin masjid itu maupun Fauzi sendiri adalah anggota Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di negara itu.
"Masjid ini tidak mematuhi semua ketentuan untuk mendapatkan izin pembangunan," Suryadharma berkata kepada wartawan pada bulan Desember 2012.
Dia menyerukan para pihak yang bertentangan - termasuk mereka yang menafsirkan keputusan pengadilan secara berbeda - untuk memecahkan masalah semacam ini secara hukum.
Masyarakat yang tersegregasi?
Beberapa kejadian tertentu dalam dekade terakhir telah menyebabkan pertumbuhan intoleransi agama, menurut para pakar yang berbicara dalam seminar terpisah pada bulan Desember mengenai topik yang diselenggarakan oleh Institut Budaya dan Kemanusiaan Maarif, sebuah wadah pemikiran Muslim lainnya.
Salah satunya adalah fatwa yang dikeluarkan pada tahun 2005 oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang menyatakan bahwa ajaran agama apapun yang dipengaruhi oleh pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme dan menyerang Islam, harus dilarang, menurut Ahmad Fuad Fanani, kepala penelitian dan perkembangan di Maarif.
"Fatwa ini justru telah memberi lampu hijau kepada tokoh konservatif Islam manapun untuk berkampanye bagi penerapan Islam Syariah dan menyebarkan Salafisme sebagai kebenaran satu-satunya kepada pengikutnya," kata Ahmad pada acara tanggal 19 Desember ini, merujuk kepada ajaran konservatif Islam yang memandang kaum moderat sebagai kafir.
Pada tahun 2006, para menteri Dalam Negeri dan Agama mengeluarkan dekrit bersama yang menyatakan bahwa sebuah rumah ibadah hanya boleh dibangun jika telah mendapatkan persetujuan dari 90 umat dan 60 warga setempat dari keyakinan berbeda di tempat yang dimaksudkan.
"Dekrit ini tampaknya berfokus pada pemecahan konflik dan sebenarnya masuk akal dalam berbagai segi. Tetapi, dekrit ini berdampak luas dalam rekayasa sosial karena membentuk masyarakat yang tersegregasi," kata Philips J. Vermonte dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS) di Jakarta.
Melindungi kerukunan agama
Para pejabat dari Wahid Institute berkata bahwa laporan mereka tidak menggambarkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan sebagai tidak bertoleransi.
"Ada upaya-upaya penting yang membina kerukunan beragama, seperti paduan suara gereja setempat yang membawakan lagu utama lomba Pembacaan Al-Qur'an Nasional saat lomba tersebut diadakan di Ambon pada bulan Juni lalu," Yenny berkata.
Change.org Indonesia mencatat ratusan petisi secara online yang menyerukan berakhirnya intoleransi agama di negeri ini, menurut Usman Hamid, penggiat HAM dan direktur kampanye di situs web aktivisme sosial ini.
"Hal ini menyatakan bahwa kaum muda Indonesia tidak bersikap masa bodoh mengenai masalah pluralisme. Ini adalah kekuatan yang baru muncul dari masyarakat sipil kami," katanya.
Salah satu pemuda tersebut adalah Yosef Pramudito Noki Murargo, 24, seorang warga Yogyakarta. Ketika berbicara kepada Khabar pada bulan ini, dia menyatakan rasa malu bahwa kerukunan agama menurun meskipun pembangunan Indonesia meningkat pesat.
"Agama sebenarnya adalah masalah pribadi kita dengan Tuhan. Hal ini tidak boleh diganggu oleh orang lain atau bahkan upaya pemerintah. Sangat penting bagi kita untuk saling menghormati - khususnya karena kita tinggal di negara demokrasi," kata Yosef.
Dia menyebutkan serangan terhadap Maria Giri Wening Grotto, sebuah situs agama Katolik dekat Yogakarta, tahun lalu.
"Saya sedih sekali saat menyadari bahwa tidak ada lagi kedamaian dan toleransi di kota saya akhir-akhir ini," katanya. "Saya harap pemeirntah bisa melatih kelompok-kelompok konservatif ini agar mereka langsung menghentikan tindakan kekerasan yang mereka lakukan."
Ahmad berkata bahwa mayoritas umat Muslim di Indonesia cukup moderat tetapi cenderung tetap diam dan tidak bersuara pada saat terjadi "pergeseran" ke arah intoleransi di dalam masyarakat.
"Tanggapan terhadap 'pergeseran' ini sebenarnya akan memiliki dampak penting akan masa depan Islam dalam waktu lima hingga sepuluh tahun di Indonesia," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar